Renungan Sabtu Malam: Belajar dan Diberi Pelajaran

Contemplate nature : Stock Photo

Tulisan ini dibuat sebagai buah perenungan dan evaluasi diri. Berawal dari sekedar introspeksi: “Sudah sejauh mana diri ini menjadi baik?”. Lantas sampailah pada kesimpulan sementara: “Kalaupun predikat baik masih jauh dari kenyataan, mungkin ada banyak hal yang belum dipahami dengan benar”. Dan untuk menjadi benar, kita perlu belajar, persis seperti yang kita lakukan sejak kecil. Belajar bicara, belajar berjalan, naik sepeda, membaca, menulis dan lainnya. Di tahap belajar inilah kita banyak bertanya “what?”. Apa ini, apa itu, ingin bisa ini, ingin bisa itu dan segudang tanya tentang berbagai hal yang ingin kita ketahui dan ingin kita capai. Tak heran bila pertanyaannya berlanjut dengan “how” alias bagaimana. Bagaimana caranya agar aku bisa menjadi “apa” yang aku inginkan. Maka kemudian kita menjalani proses belajar yang panjang dan penuh bimbingan orang tua, sanak saudara, para guru hingga mencapai usia matang, katakanlah di saat pubertas/ akil baligh.

Di masa dewasa, proses belajar sebenarnya masih berlanjut dan bahkan tidak boleh berhenti. Namun, karena sudah ‘dilepas’ ke alam kemandirian, bimbingan yang tercurah di masa kanak-kanak sudah hampir tidak ada lagi, terganti dengan beban tanggung jawab dan mawas diri. Maka maklum saja, bila di usia dewasa ini kegagalan dan jebakan-jebakan kehidupan mulai mengintai. Bila anak kecil sering terjatuh saat belajar berjalan atau bersepeda, maka manusia dewasa pun kerap tersandung pula; oleh ujian. Inilah tahap pembelajaran. Dengan kata lain, dalam fase kehidupan mandiri ini, kita diberi pelajaran dari pengalaman diri sendiri maupin orang lain, baik yang sukses maupun yang gagal.

Saat gagal atau tersandung inilah muncul kata tanya berikutnya yaitu “why”. Kenapa. Kenapa kok gagal? Padahal sudah belajar?

Jawabnya boleh jadi: ya, berarti belajarnya perlu diulang lagi. Atau ditingkatkan levelnya. Hidup ibarat buku tebal yang harus dibaca terus tiap hari, berlanjut dari Bab yang paling gampang menuju Bab berikutnya yang makin sulit. Kesimpulannya, kegagalan itu terjadi agar kita ingat untuk belajar lagi. Pengalaman adalah ajang untuk diberi pelajaran agar kita tidak bosan dan terlalu puas dalam belajar.

Kehidupan di proyek atau di pekerjaan mestinya tidak jauh berbeda. Hampir tidak dijumpai proyek yang tidak bermasalah. Padahal sudah dibuat perencanaan, penjadwalan dan anggaran yang seakirat mungkin. Nyatanya ada saja kendala. Yah, namanya juga “pelajaran”. Itulah konsekuensi perjalanan hidup. Kita harus siap hadapi ketika proyek sudah berjalan. Kalau ingin bebas masalah, mungkin satu-satunya cara adalah jangan pernah jalankan proyek. Tentu bukan nalar yang bisa dibenarkan.

Sekedar penutup ada tiga butir perenungan:

1) Bila belajar memerlukan kesungguhan, maka saat diberi pelajaran, kita memerlukan kedewasaan yang sesungguhnya. Kedewasaan untuk menerima pengalaman sebagai nutrisi nurani serta mencernanya agar metabolisme pikiran selalu terjaga untuk jadi lebih bijaksana.

2) Perlu kebesaran hati dan persiapan maksimal untuk belajar, mengambil pelajaran, belajar lagi, jalani lagi, terus hingga roda kehidupan membawa kita pada tujuan, insyaAllah.

3) Kalaupun kegagalan ingin dihindari, maka rajinlah belajar sebelum diberi pelajaran.

Selamat menghias akhir pekan Anda.

(TERAPPELI)